"PULANGLAH. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak anakku, sebelum semuanya terlambat, pulanglah...."
Bidadari-bidadari surga menyuguhkan cerita kekuatan cinta, pengorbanan, dan kerja keras yang dibangun oleh sebuah keluarga di Lembah Lahambay. Novel ini menceritakan sebuah 5 bersaudara, dimana cerita ini dimulai dengan 203 karakter sms yang mengabarkan kondisi kritis si sulung yaitu kak Laisa. Sms itu dikirmkan oleh mamak kepada keempat adiknya yang lain yang berada di tempat yang berbeda-beda. Ditempat mereka telah meraih kesuksesan.
Keempat bersaudara itu adalah Dalimunte seorang ahli fisika yang sedang menjadi pembicara dalam acara symposium internasional ketika menerima sms tersebut, sedangkan Ikanuri dan Wibisana berada dalam perjalanan bisnisnya di Eropa dan terakhir Yashinta si bungsu pecinta alam yang sedang melakukan penelitian untuk pelestarian burung alap-alap kawah di puncak Gunung Semeru.
Mengisahkan perjuangan perjalanan keempat bersaudara kembali ke kampung halaman. Berjuang untuk sesegera mungkin menemui kakak sulung terkasih mereka, yang sedang sekarat melawan penyakit kanker paru-paru yang mencapai stadium IV. Perjalanan mereka ke Lembah Lahambay diwarnai dengan terbangkitnya kenangan-kenangan dengan kakak sulung mereka, kak Laisa. Sosok kakak yang tegar, rela mengorbankan apapun demi adik-adiknya yang ia cintai. Walau dia tahu, di dalam tubuh mereka tidak mengalir darah yang sama, walau dia tahu dia telah mengorbankan masa depannya sendiri. Kak Laisa rela meninggalkan bangku sekolahnya demi adiknya Dalimunte. Dan akan membantu mamak mengurusi ladang mereka saja.
Dalimunte adalah seorang adik yang baik, rajin membantu mamak dan kak Laisa di ladang, dan sangat rajin untuk sembahyang di mushola, dia juga sangat cerdas, dan sangat kreatif, dia suka membuat mainan sendiri dan terkadang membuatkan mainan untuk adik-adiknya. Dia juga berfikir untuk membuat kincir angin untuk desanya agar membuat irigasi ke setiap ladang milik warga, awalnya warga tidak percaya dengan kincir angin karangan Dali yang masih kecil itu, setelah akhirnya ka Laisa meyakinkan warga agar percaya kepada adiknya dan untuk mencobanya terlebih dahulu. Setelah dicoba akhirnya kincir angin pun berhasil, dan bisa mengaliri ladang-ladang milik warga.
Ikanuri dan Wibisana adalah adik kak Laisa yang ketiga dan keempat, umur mereka beda 1 tahun, tapi terlihat sangat mirirp sekali. Mereka lebih suka bermain daripada belajar atau bahkan membantu mamak dan kak Laisa di ladang. Bahkan mereka sering bolos sekolah demi ke kecamatan untuk mencari uang. Kak Laisa hampir setiap hari memarahi mereka karna mereka selalu saja berbuat onar, tapi walaupun mereka anak yang nakal mereka tetap sadar akan jerih payah mamak dan Ka Laisa yang siap banting tulang demi sekolah mereka.
Yashinta adalah adik terkecilka Laisa, dia adalah adik yang sangat manis dan nurut pada kak Laisa, dia juga memiliki rasa penasaran yang tinggi. Suatu hari, kak Laisa menceritakan anak berang-berang yang sangat lucu kepada Yashinta, dan akhirnya Yashinta langsung memohon-mohon kepada ka Laisa agar mengajaknya melihat anak berang-berang lucu di bendungan. Yashinta termasuk gadis yang cantik dan pintar, sepertinya dia mewarisi bakat Dalimunte, dia juga mewarisi bakat kak Laisa dalam bidang kerja keras.
Banyak sekali pengorbanan kak Laisa yang dikisahkan dalam novel ini. Kak Laisa dengan berani pergi ke hutan kendeng yang jelas sangat membahayakan tentang adanya harimau. Kak Laisa datang dengan kekuatan cinta untuk membawa Ikanuri dan Wibisana kembali dalam keluarga mereka. Tak peduli, sebelumnya Ikanuri dan Wibisana menyakiti hatinya, mengatainya buruk dan berbeda, bahkan tidak menganggapnya kakak.Tubuhnya yang gempal, fisiknya yang tidak terlalu menarik, membuatnya tidak pernah merasakan cinta seorang lelaki. Ia bahkan tidak menikah seumur hidupnya. Baginya, semua itu bukan masalah besar. Bahkan, ketika Dalimunte, Ikanuri, dan Wibisana menunda pernikahan mereka untuk menghormati sang kakak, Laisa hanya tersenyum, sembari mengatakan bahwa baginya hidupnya begitu membahagiakan. Ternyata kemuliaan hati Laisa memandang bahwa melihat Lembah Lahambay lebih maju adalah karunia, melihat adik-adiknya berhasil adalah anugrah, bersama keluarganya yang telah lengkap dan ramai adalah suatu kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar